Minggu, 03 Juli 2016

Lakukan Dengan Hati

Setiap orang pasti sudah tahu, atau paling tidak sudah mendengar kata “hati”. Ya. Hati bisa kita maknai sebagai seonggok daging yang melekat dalam tubuh manusia yang memiliki peran sebagai “penawar” atau “pembersih” terhadap racun-racun yang ada dalam tubuh kita. Kotoran dan sampah-sampah yang merusak indahnya sistem pencernaan dalam tubuh dapat kita bersihkan dengan hati.

Tetapi di lain sisi, hati juga dapat kita terjemahkan sebagai satu sisi dari naluri kita, rasa, atau fikiran yang sifatnya baik dan berfungsi sebagai pembersih dari pikiran-pikiran kita yang bersifat kotor, yang membersihkan tidak hanya fikiran kotor seseorang, mungkin juga orang lain yang mengenal hatinya.

"Hati mengalahkan segala keburukan. Ia adalah telaga bagi tanah yang gersang. Ia mengalahkan rasa takut, ragu-ragu, dan rasa benci. Ia adalah hijauan bagi sebuah kehidupan"

Berbicara tentang hati, aku memiliki sedikit cerita tentangnya. Kisah ini kualami ketika aku masih kecil. Saat itu aku dan keluarga tinggal mengontrak di daerah Jakarta Timur. Rumah kami terletak tepat di tengah-tengah dari barisan rumah kontrakan kecil di sana. Saat itu kira-kira tahun 2001, dan usiaku sekitar 6 tahun.

Kira-kira matahari tepat berada di atas kepala kita. Saat itu aku merasa suhu Jakarta begitu panas. Oleh karena itu aku pergi ke teras rumah berharap ada angin sepoi-sepoi datang menghilangkan suntukku akan cuaca siang itu. Aku duduk di atas tembok yang dibangun dengan tinggi seukuruan pinggang orang dewasa. Aku melihat kondisi sekitar yang saat itu cukup sepi. Tentu saja, di depan kontrakan ini hanyalah sebuah tembok besar tua yang sudah digandrungi banyak lumut. Hm, tapi aku cukup bahagia saat itu, kau tau kenapa? Tak menunggu begitu lama, semilir kecil angin yang kuharapkan datang meniup dan menyejukkan suasana siang itu.

Di tengah keasyikanku menikmati lembutnya hembusan angin, aku dikejutkan oleh suatu hal. Tiba-tiba terdengar ramai suara anak-anak dari jauh namun semakin mendekat. Kepalaku yang sebelumnya nikmat menyandar ke dinding pun reflek berubah haluan menengok ke daerah dari mana suara itu berasal.

Mataku terarah pada seseorang yang kini muncul perlahan dari depan rumah kontrakan yang paling ujung. Rambutnya gimbal seperti tidak keramas lama sekali. Wajahnya kotor tak terurus. Dan pakaiannya kumal tanpa penjelasan. Satu yang unik darinya adalah dipundaknya terdapat sebuah selendang merah yang menggendong suatu benda. Dan benda itu seperti bantal kapuk kecil. Ia menggendong bantal itu persis seperti ibu-ibu menggendong bayi dengan selendangnya. Dari melihatnya beberapa saat, aku langsung dapat mengenalnya. Maksudku, aku tahu siapa dia. Ia adalah seorang perempuan yang memiliki keterbelakangan mental —saat itu kami biasa menyebutnya “orang gila”— yang ada di daerah kami. Menyedihkan. Entah apa yang sedang terjadi. Ia berteriak histeris sambil tangannya bergerak-gerak seperti mengusir dan menolak sesuatu.

“Tuk...” Suatu benda keras telah menimpanya. Aku lihat benda itu kemudian terjatuh ke tanah. Ternyata sebuah batu kecil.

“Tuk...” Lagi-lagi lemparan batu kecil itu mengenai tubuhnya.

Perlahan kuketahui apa yang membuat ia histeris berteriak. Segerombolan anak-anak kecil sedikit demi sedikit menyusul dari depan rumah kontrakan yang paling ujung. Mereka membawa batu kecil yang kemudian dilemparkannya kepada wanita tersebut. Jika batu-batu ditangannya habis, mereka akan memungutnya dari tanah kemudian melemparkannya lagi kepada wanita itu. Mereka sama sekali tak merasa bersalah. Bahkan tertawa gembira sambil terus melakukan hal tak terpuji tersebut.

Aku merasa sedih dan iba. Tapi aku tak berani mengusir gerombolan anak itu. Mereka lebih besar dariku. Aku masih duduk di bangku kelas satu dan mentalku masih ciut. Aku hanya bisa melihat wanita malang itu berteriak dan menderita karena dilempari batu-batu oleh segerombolan anak nakal. Mereka terus melemparinya dengan batu. Bahkan salah satu dari mereka ada yang memukul dan mendorong-dorong kepalanya.

Wanita malang itu berjalan mundur dengan perlahan. Anak-anak itu seperti menggiringnya. Dan kini, ia tepat berada di depan rumahku. Saat itu aku berharap agar anak-anak itu menggiringnya sampai ujung kontrakan dan menghilang begitu saja agar aku bisa kembali menikmati angin dan keadaan kembali tenang.

Tetapi malah wanita itu duduk. Ia duduk tepat berada di depan rumahku. Aku menjadi semakin bingung harus berbuat apa. Ia duduk tertunduk sambil tangannya menutupi kepalanya, mencoba berlindung dari kerikil-kerikil yang diluncurkan oleh anak-anak itu. Gerombolan nakal itu masih melemparinya dengan batu. Ia tersiksa, dan anak-anak kecil itu tertawa. Sedangkan aku terdiam.

Ibuku keluar karena mendengar sedikit keramaian terjadi di depan rumahnya. Ia melihat kejadian itu—gerombolan anak nakal menyakiti wanita gila yang tengah duduk pasrah persis berada di depan rumah. Maka ibu langsung mengusir gerombolan anak pengganggu tersebut. Dan anak-anak itu akhirnya pergi. Akhirnya ... Aku tersenyum lega.

Tetapi kini aku melihat sebuah pemandangan pilu; seorang wanita yang memiliki keterbelakangan mental, kumuh, dan menyedihkan, duduk menangis di depan rumahku. Tangannya melingkar memeluk kakinya yang ia tekuk. Wajahnya tak terlihat karena ia tundukkan tepat di atas lututnya. Sebuah pemandangan persis di TV yang menggambarkan tanda-tanda orang depresi. Kini aku menoleh ke arah ibu, sorot matanya memberi tahuku bahwa ia merasa sedih dan iba.

“Yo, tolong kasih dia makan, juga minum. Kasihan ... Dia haus.” ibuku berkata pelan sambil tetap menatapnya. “Hmm, tahu dari mana ibu bahwa ia haus dan lapar...” pikirku.

Baru saja aku ingin bangkit mendengar perintah ibuku. Tetapi baru setengah bangkit, sebuah kalimat susulan membuatku duduk lagi.“Tunggu disini, Yo ... Biar ibu saja yang ambilkan.” Setelah itu ibu masuk kedalam rumah.

Lakukan Dengan Hati

Kini hanya aku sendirian terduduk menatap wanita kumuh yang seperti orang depresi itu. Ia benar-benar tak menampakkan wajahnya. Tangannya yang melingkar itu tak berubah. Tangisnya pun tak berhenti. Aku melihat tubuhnya sedikit bergetar, mungkin karena ia menangis sampai sesungukkan. Ngeri juga batinku saat itu. Namun, hati kecilku tetap merasa kasihan padanya.

“Yo...” suara ibu memanggilku.

Aku masuk kedalam rumah dan kemudian keluar dengan membawa sepiring makanan dan segelas air. Ibu menyuruhku untuk memberikan makanan ini padanya. Tentu saja ini tidak begitu sulit bagiku.

Aku melangkahkan kakiku mendekatinya. Dan ketika aku sudah dekat dengannya, aku sangat kaget karena sebuah kejadian tiba-tiba terjadi. Wajahnya yang tertunduk itu tiba- tiba terangkat! Ia mengeluarkan suara-suara yang begitu aneh “Waoo! Waoo!” Dan tangannya tiba-tiba bergerak melambai seakan-akan ingin menarikku!

Waiyyaaa…!!! Otomatis aku meloncat mundur kebelakang karena sangat terkejut. Untung air dan makanannya tidak tumpah.

Setelah kejadian itu selesai ia tertunduk lagi seperti semula. “Wah, ngeselin..." pikirku.

Kini aku kembali menatapnya seperti semula. Yang kulihat pun adalah pemandangan yang sama. Aku mencoba berjalan lagi mendekatinya. Kali ini agak takut dan ragu-ragu. Dan sekali lagi…

Waiyyaaa...!!! Aku mundur lagi karena ia mengulang kejadian yang sama sambil mengeluarkan suara yang bagiku menakutkan. Dan kau tahu sahabat, berkali-kali aku mendekatinya, dan berkali-kali juga kejadian itu terulang.

Aku berdiri mencari ide agar bagaimana tugas ini selesai. Tik tok tik tok ... Aha!

Aku berjalan mengendap-endap pelan. Kali ini aku mendekatinya dari samping. Pelan-pelan, dan kali ini lebih berhati-hati. Napasku kutahan. Mataku tak lepas dari memandangnya karena aku sangat waspada. Perlahan-lahan ... sedikit lagi, pikirku. Dan ketika aku merasa sudah agak dekat, kuletakkan piring dan gelas itu di sampingnya. Lalu aku mengendap-endap menjauh. Dan ... Ya, selesai! Aku sukses!

Aku menghembuskan nafas lega setelah kupikir semua beres. Aku tersenyum lebar. Haha, salah satu tantangan besar dalam hidup ini berhasil kulewati, pikirku.

Namun aku salah, ketika aku berdiri memandangnya, semua sama persis seperti semula; seorang wanita kumuh sedang duduk tertunduk diam dengan background tembok tua yang lusuh. Hanya saja kali ini di sampingnya, hm ... Maksudku agak jauh di sampingnya; terdapat segelas air dan sepiring nasi yang tadi kuletakkan.

Senyum yang tadi tersungging di bibirku pun perlahan pudar. Aku sadar, misi ini telah gagal. Aku tidak memberinya makan dan minum, tetapi hanya meletakkan makanan dan minuman itu di sampingnya. Maksudku, agak jauh di sampingnya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, kecuali...

“Mama...” Aku merengek memanggil ibu. Aku sadar aku telah kalah.

Ibuku keluar tak lama setelah mendengar rengekkanku. “Ada apa?” tanyanya. Aku tak menjawab. Ibu hanya menatapku dan menatap keadaan sekitar. Sepertinya ia sadar apa yang telah terjadi. Kemudian ia bergumam kecil, “Hm ... Ya sudah, nggak apa-apa.”

Ibu berjalan kearah wanita itu tanpa rasa takut sama sekali. Justru aku yang kini berdiam, malah tetap digandrungi rasa takut. Aku takut karena telah mencoba mendekatinya dan mendapatkan sebuah kejadian. Hanya saja ibu belum tahu.

Ibu semakin dekat dengannya. Aku cemas. Aku tahu apa yang akan terjadi. Dan itu benar!

“Waoo! Waoo!” Lagi-lagi kepala wanita gila itu terangkat. Tangannya diulur seakan ingin menakut-nakuti ibuku sambil ia mengeluarkan suara yang aneh-aneh.

Ibuku sedikit terkejut layaknya aku. Tapi sikapnya berbeda denganku, ia tetap berjalan mendekati wanita itu. Ia raih tangan wanita itu, lalu dikendalikannya perlahan. Ibu mengelus kepalanya. “Sini sayang ... nggak apa-apa.” Ibuku bersikap lembut dan tak terlihat sedikitpun rasa takut di matanya.

Perlahan wanita itu melemah. Ibuku mengambil segelas air yang kuletakkan tadi. Diberikannya kepada wanita itu, dan ia meminumnya. Lalu ibu mengambil sepiring makanan yang juga tadi kuletakkan. Awalnya disuapinya wanita itu oleh ibu beberapa suapan. Namun setelah itu ibu mengajarinya untuk makan sendiri. Setelah ia makan sendiri, beberapa saat kemudian ibu pergi masuk kerumah untuk melanjutkan pekerjaannya. Dan sebelum masuk rumah, ia tersenyum padaku.

Kini yang kulihat adalah pemandangan yang berbeda dari sebelumya; seorang wanita kumal sedang menikmati sepiring makanan--yang diberikan ibuku, dengan segelas air berada di depannya. Aku memang tak begitu jelas melihat senyumnya, tapi aku tahu dan aku yakin, ia lebih bahagia dari sebelumnya.

Luar biasa. Hari itu ibu mengajariku suatu pelajaran, yang aku baru sadar dan mempelajarinya beberapa tahun kemudian setelah tumbuh dewasa. Ibu mengajarkanku tentang kasih sayang dan bagaimana berbuat dengan hati.

Aku baru menyadari, dari mana ibu tahu bahwa wanita itu kelaparan, ia melihatnya dengan hati. Aku tahu bagaimana ia menyadari keadaan setelah aku merengek, ia merasakannya dengan hati. Dan aku tahu mengapa wanita itu melembut tanpa ibu mengucapkan sepatah katapun kepadanya. Ya, sebenarnya ibu berbicara kepadanya—hanya saja lewat hati.

Hati mengalahkan segala keburukan. Ia adalah telaga bagi tanah yang gersang. Ia mengalahkan rasa takut, ragu-ragu, dan rasa benci. Ia adalah hijauan bagi sebuah kehidupan.

Indramayu, 2013.

Bagikanlah hal-hal bermanfaat kepada sahabat atau keluarga Anda... :)

Biasa dipanggil Masyo. Adalah seorang Internet Marketer, Pelatih olahraga Hockey, dan Pendidik di Al-Zaytun International School. Mencintai dunia pendidikan, parenting, internet marketing, olahraga, musik, dan kepenulisan.

Terima kasih untuk komentar yang baik dan membangun...
EmoticonEmoticon