Sinar matahari menyelinap keluar dari balik kumpulan awan. Selaras dengan dahan pohon yang bergoyang mengikuti syahdunya nyanyian bebas burung-burung. Cerahnya hari itu sudah mulai terasa. Tampak sebuah bangunan megah, rindang dengan pohon-pohonnya berdiri kokoh di tengah sawah dan suasana kampung. Angin kecil bergerak lambat di sepanjang lorong-lorong bangunan itu. Rendah riuh suara anak-anak dan dewasa terdengar ramai. Terlihat senyum bahagia menghiasi wajah mereka. Demikianlah hari pertama mereka kembali ke sekolah setelah bernikmat dalam sebuah libur yang panjang.
"Eh, ada anak baru tahu di 6-c03!" papar seorang teman. Juli, 2006, kami menginjak level sekolah yang baru--6 MI.
"Oh ... Siapa namanya?" responku singkat.
"Enggak tau deh ... Cewe, kecil, kayaknya pendiem."
"Oh, begitu...." Cukup mendengar kabar saja. Aku tak terlalu memedulikan anak baru itu. "Ya udah biarin, ayo lanjut main lagi."
****
Dan satu semester pun terlewati....
Kini topik utama pembicaraan kami tidak hanya soal liburan. Ada topik baru yang lebih panas sehingga menjadi buah bibir para guru maupun murid. Inilah pembahasan mengenai hasil dari proses pembelajaran yang telah berjalan. Inilah gengsi sekolah dalam dunia pendidikan. Inilah bukti seorang pelajar serius atau lalai dalam persaingan. Topik utama kali ini: 'ranking dan nilai para murid'. Sebuah topik baru yang tengah menguasai pasar bahasan orang-orang di sekolah kami. Maklum, baru kemarin diumumkan murid-murid yang menjadi johan angkatan. Wajar saja tema itu menjadi nomor satu. Tapi siapa sangka, terselip sebutir cerita tentang anak itu pada bahasan kali ini. Seseorang yang sebelumnya aku tak terlalu berminat mengenalnya, kini mau tak au aku pasti tahu. Sekonyong-konyong, dia, seorang perempuan kecil yang pendiam dan pemalu itu berhasil memasukkan namanya ke dalam daftar murid terpintar di angkatan kami. Hanya dalam satu semester, ia mampu merebut posisi tiga dari kurang lebih tiga ratus anak yang ada di kelas enam! Waw! Ini kisah heboh! seorang anak yang tidak pernah dibahas, sekejab menjadi sorotan utama di antara anak-anak baru yang lain. Saat itulah aku mulai mengenalnya. Namanya tiba-tiba mencuat dalam tempo yang relatif singkat.
Untuk saat itu harus kuakui, dia anak yang pintar. Tapi kondisi bisa berubah. Mungkin saja ini hanya kebetulan, ia tertimpa keberuntungan sesaat yang nantinya akan hilang juga. Tak ada yang dapat menutup kemungkinan bahwa di semester-semester berikutnya ia akan menduduki peringkat anak-anak terbelakang. Kita lihat saja bagaimana selanjutnya.
****
"Yo, cepet bangun! Ijtima' divisi pendidikan sekarang!" seorang teman pengganggu membangunkan tidurku yang sudah mulai lelap.
"Perlahan aku mulai sadar dan membuka mata. Mengangkat kepala, lalu menengok ke arahnya. "Et ... dah. Ijtima' apaan si?" balasku malas.
"Ijtima' marhalah divisi pendidikan. Ente kan bagian pendidikan juga. Ayo cepet jalan bareng ane!" Kata-kata yang tidak enak didengar--bagiku: seseorang yang baru saja bangun tidur, apalagi karena dibangunkan.
Aku masih diam berusaha untuk mengumpulkan nyawa. Ini seperti badai buruk. Waktu rehat kelas yang seharusnya menjadi jam tidur tambahan harus kurelakan karena kewajiban menghadiri ijtima'. Sambil mengulet, mau tak mau, "Emh ... iya dah. Sebentar, ane cuci muka dulu."
****
2011, kami tengah menduduki kelas sebelas saat itu. MA ini menjadi pilihanku untuk melanjutkan pendidikan setelah mengenyam MI dan MTs di tempat yang sama.
Adalah level kelas sebelas, masuk ke dalam kategori senior yang sudah harus terbentuk marhalah di dalamnya. Marhalah merupakan sebutan bagi organisasi di sekolah kami yang mengurus perihal angkatan. Seperti organisasi lain pada umumnya, marhalah memiliki ketua, sekertaris, divisi keuangan, divisi ekonomi, dan divisi lainnya. Tersebutlah di antaranya divisi pendidikan di mana aku menjadi anggota. Entahlah, aku tak pernah ingat mengapa bisa masuk ke dalam bagian itu. Bagiku itu bukan masalah besar. Dan aku sering melupakan hal-hal kecil yang sekiranya tidak terlalu penting.
Selang beberapa menit kemudian aku dan seorang 'teman pengganggu tidur' sudah berjalan bersama menuju aula, tempat di mana Ijtima' dilaksanakan. Siang itu, dia yang memimpin Ijtima'. Perempuan kecil itu kini berubah menjadi seorang gadis setengah dewasa. Bermacam kepintaran tetap menempel di kepalanya. Ia selalu sukses menorehkan namanya sebagai johan angkatan hampir di setiap semester. Mungkin itulah alasan mengapa ia terpilih sebagai ketua divisi pendidikan marhalah. Pernah aku berpikir dalam hati: sepertinya, kepintaran yang begitu setia bersamanya telah menjadikan ia sebagai orang yang setia juga. Dan sampai saat itu, ia tetap sama karena sebuah kesetiaan. Ia setia kepada sifat malu dan diamnya. Persis seperti lima tahun silam ketika pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini.
Begitulah kisahnya. Sudah lima tahun kami berada di sekolah yang sama. Lulus dari kelas enam MI, lalu memilih lanjutan tahapan akademik di MTs dan MA yang sama. Hampir semuanya sama. Ia masih dan tetap pintar. Sedangkan aku? Entahalah. Aku tak mampu menjawab pertanyaan itu.
Jarum panjang telah melewati enam angka yang berbaris melengkung--tiga puluh menit terlewati. Ijtima' pun usai. Orang-orang meninggalkan tempat ijtima' dengan berbagai raut di wajah mereka. Beberapa tertawa, beberapa biasa, dan sebagian kecil tampak lesu. Hm ... wajah lesu. Mungkin tugas mereka bertambah karena ijtima' itu. Aku diam seribu kata melirik mereka. Tak peduli--karena aku hanya memerhatikan diri sendiri.
Haha, aku senang ijtima' ini berakhir. Kuhembuskan nafas-nafas kebahagiaan. Tak pernah ku ingin tahu apa yang bisa kuperoleh dari pertemuan itu. Pikiranku menerawang ke atas rasa senang karena bisa melanjutkan sesi tidur yang tertunda.
Saatnya menikmati meja dan kursi sekolah yang nyaman. Mataku mulai terpejam, kuatur nafas agar lebih tenang meski sedikit terdengar bingar suara guru menjelaskan dan teman-teman yang asyik bercanda. Ada juga beberapa yang bertanya serius menimpali omongan sang guru. Dalam kondisi seperti itu, aku fokus mengatur nafas, meletakkan kepala di tempat yang paling nikmat, memosisikan badan serileks mungkin, mencoba tuli terhadap bising-bising kecil, dan siap tidur di tengah pelajaran yang sedang berlangsung. Ah ... Aku pasti bermimpi. Entah kemana mimpi itu membawaku pergi.
****
Pagi ini, seperti beberapa tahun lalu--cerah. Salah satu pagi indah pada Juli 2015. Tenang dan menenangkan. Udara pagi mulai berganti dari dingin ke hangat. Sekelompok jalak, kutilang, kacer, cendet, perkutut, dan saudara-saudaranya bersaut-saut bak paduan suara tingkat dunia. Inilah salah satu kelebihan lingkunganku, makhluk bersuara emas itu bebas menjalani hidupnya. Memang seharusnya seperti ini, siulan indah itu bukan berasal dari paksa. Bagiku, alunan mereka adalah pembangkit keceriaan. Terlebih jika dipadu dengan pemandangan hijau yang manjakan mata. Kulihat padi-padi subur juga pepohonan sang penebar udara kehidupan, ah ... Pagi yang benar-benar indah.
Sayang, kopiku habis sejak dua hari lalu. Tapi tidak masalah, pagi ini sudah ada pengganti yang lebih nikmat dari kopi. Pengganti kopi ini adalah pekerjaan yang jarang sekali ada. Alih-alih pahitnya kopi, pekerjaan ini terasa manis--chatting dengan seorang teman lama.
"Apa kabar?" tanyaku.
"Baik."
Hm ... Sebuah jawaban singkat yang langsung pada intinya.
"Bagaimana kuliahmu?" lanjutku.
"Alhamdulillah, semua berjalan seperti biasa."
Kira-kira begitulah obrolan singkat kami berlangsung. Obrolan yang tidak terlalu penting. Bisa dibilang basa-basi yang sudah basi. Itulah obrolan yang tidak berpengaruh besar bagi hidupku juga hidupnya. Tapi ada satu hal yang bisa dikata istimewa--bagiku. Chatting itu adalah antara aku dan dirinya. Ya, dia. Wanita kecil yang pendiam, pemalu, dan pintar itu.
sudah lama aku menyadari bahwa dia pintar bukan karena mukjizat yang sekonyong-konyong ada. Bukan karena dari lahir sudah pintar.
Kepintaran tidak berasal dari bakat alam dan membela orang-orang yang beruntung. Aku tahu, semua itu terjadi karena ia berusaha. Ia bekerja keras dan sanggup berkomitmen dengan keinginannya. Tidak sedikit tenaga, waktu, dan hal-hal lain yang harus ia korbankan untuk bisa terus belajar walau mungkin banyak hambatan yang menuntut.
Tiba-tiba saja aku teringat masa lalu. Beberapa tahun silam ketika aku duduk di bangku kelas enam. Dimana anak itu menjadi topik utama karena kepintarannya yang muncul tiba-tiba. Si pendiam dan pemalu itu telah membuat kami penasaran. Saat itu, aku bertanya pada salah seorang teman, "Eh, tahu gak anak baru yang di 6-c03 itu, dia jadi johan ya ... Siapa namanya?"
Disebutlah olehnya nama itu--namamu.
****
Agustus, 2015...
Hei, selamat bertemu dalam surat! Apapun kondisimu, aku berharap engkau akan lebih baik dari pada kondisimu yang sekarang. Jujur, aku amat bahagia karena bisa menyampaikan salam langsung untukmu; tanpa perantara orang lain. Walaupun itu hanya lewat surat/ tulisan. Ya ... Sekedar menyampaikan perasaan saja.... Aku juga berdo'a semoga engkau berlimpah dengan segala kebahagiaan.
Entah apa pekerjaanmu sekarang, aku yakin di dalam hati, apapun yang engkau lakukan saat ini adalah pekerjaan yang engkau amat mencintainya.
Tujuh tahun bersamamu dalam sekolah yang sama; memaksaku untuk mengakui bahwa engkau adalah seseorang yang cukup pintar--setidaknya jika dibandingkan dengan aku dulu yang pemalas. Selama tujuh tahun berjalan, tak sedikitpun aku mampu bersaing. Kini, aku sadar--terimakasih, Teman. Meski tersirat, perjuanganmu telah mengajariku. Dan aku sudah tergerak untuk menjadi pribadi yang lebih giat.
Aku paham, kita tidak terlalu akrab dan menghabiskan waktu bersama di masa lalu. Tentu saja karena berbagai macam alasan; lingkungan kita yang berbeda, hobi yang tak sama, peraturan yang ditetapkan, terlebih aku laki-laki dan kau perempuan. Tapi aku berterima kasih dan bersyukur pernah mengenalmu. Aku senang engkau ada dalam cerita hidupku. Mungkin jika malaikat bertanya, "Sebutkan apa saja hal yang baik dalam hidupmu?" Kan kujawab tanpa ragu: aku pernah mengenalmu.
Teman; demikianlah sebutanku terhadapmu, kamu terhadapku. Setiap orang memiliki makna tersendiri terhadap kata itu. Namun, tahukah kamu apa arti "teman" bagiku?
Teman adalah seseorang yang pernah bersama dalam kehidupan nyata, adalah seseorang yang berada dalam hati--meski fisik tak bersama, adalah seseorang yang memberikan kebahagiaan baik langsung maupun tersirat, adalah seseorang yang memberikan pelajaran sehingga membuat pribadi lain menjadi makhluk yang lebih baik. itulah teman.
Bagiku teman memiliki makna yang luas. Satu saja syarat sudah terpenuhi dari apa yang sudah kusebutkan diatas, maka dialah "teman." Seorang istri adalah teman hidup bagi suaminya. Tak perlu ditanya mengapa; sang istri menemaninya ketika kesepian, melayaninya ketika butuh, menghiburnya ketika pilu, mengingatkannya ketika lupa, memberikan kebahagiaan kepadanya, membantu urusan-urusannya, dan segala macam alasan yang membuat kita lelah jika menyebutkan semuanya. Seorang penjahat pun merupakan teman bagi polisi. karena penjahat memaksa polisi agar lebih waspada, lebih cekatan, lebih aktif, dan lebih giat memikirkan cara yang efektif untuk mewujudkan kemanan masyarakat. Penjahat--secara tak langsung--mengajari polisi untuk bertindak ke arah yang lebih baik. Penjahat juga memberi efek baik untuk polisi karena mereka menegur polisi agar selalu mengevaluasi diri sehingga memiliki banyak kemajuan.
Teman bisa menjadi sesuatu yang buruk atau sesuatu yang baik tergantung dari hati kita memaknainya. Bagaimana pun cara orang lain mengartikan teman, aku memiliki caraku sendiri.
Selanjutnya, ada yang ingin kusampaikan. Aku mohon izin untuk menjelaskan dirimu; tentu saja berdasarkan pandanganku. Bukan untuk memuji atau mencela. Aku hanya ingin hal ini menjadi evaluasi kita agar bisa tergerak menjadi pribadi yang lebih mulia. Perhatikanlah, ini merupakan pesan dari teman untuk teman. Inilah pandanganku, entah engkau terima atau tidak, aku hanya menyampaikan, bukan meminta tanggapan.
Temanku,
Engkau adalah seseorang yang cukup baik. Berjalan pada jalan yang tepat--Jalan Allah, walau mungkin pernah terpeleset dari jalur. Itu wajar, karena pada dasarnya manusia adalah salah. Engkau juga orang yang bersungguh-sungguh terhadap suatu hal. Aku melihat sikap bertanggung jawab dari dirimu. Ketika kau pelajar, maka engkau akan belajar. Ketika kau mendapat tugas, engkau akan mengerjakannya karena itu kewajiban. Ketika engkau gagal, maka engkau akan mencoba lagi. Engkau rela berpayah untuk mencapai suatu hal--itu yang ingin aku tiru.
Aku tahu, terkadang sikap kanak-kanakmu timbul di saat yang tidak kau inginkan. Tapi kau mencoba tetap tegar menyembunyikan sikap aslimu yang lucu itu. Dulu, aku sering melihatmu mencoba berani, walau (aku tahu) kau takut. Engkau mungkin seperti orang yang terlihat gagah, tapi aku menemukan gemetar di hatimu. Kadang juga engkau tak mampu mengolah malu dan diam itu, lalu membuat sebuah kesalahan. Dan setelah kejadian itu usai engkau berucap dalam hati, "Haduh ... Kenapa sih tadi aku kaya gitu...." Haha, itulah dirimu--dulu. Aku yakin kini kau telah berubah.
Banyak hal yang bisa kita dapatkan dari seorang teman, salah satunya adalah pandangan. aku paham kau adalah seorang pemerhati yang baik; mungkin. Engkau sadar dengan kondisi lingkunganmu. Misalnya, engkau tahu ciri-ciri temanmu. Jika si A mendapatkan kondisi yang begini-begini, maka reaksi A akan begitu-begitu. A tidak terlalu bisa dalam hal membaca Al-Qur'an, tapi mengapa ia tidak berusaha untuk menjadi bisa? Oh ... Mungkin kejadian yang begini-begini telah melatarbelakangi hidupnya sehingga ia belum mau berusaha untuk mendapatkan yang terbaik baginya. Ya, begitulah kira-kira. Ketika engkau heran terhadap suatu hal, engkau akan mencari sejarah (sebab)-nya. begitulah seorang pemerhati dan kau seorang pemerhati.
Terkadang, walau tidak mencari sebabnya, minimal kau tahu, telah terjadi kerusakan di sebelah sini, kerusakan juga di sebelah sana, tapi terjadi kenaikan kualitas di sebelah situ. Itulah yang akan memunculkan pertanyaan selanjutnya. Mengapa bisa terjadi demikian? Mengapa sebelah situ berbeda dari yang lain? Apa yang membuat sebelah sini dan sana rusak? Bagaimana jika kondisi di sebelah situ diterapkan di sebelah sini dan sana? Apa yang membuatnya mungkin dan apa yang membuatnya tidak mungkin?
Menurutku, aku juga seorang pemerhati. Ya ... sedikitlah.... Dan aku pikir semua orang adalah pemerhati. Hanya objek, cara, dan kadarnya saja yang berbeda-beda. Begitulah, semua orang dapat memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap suatu hal yang juga berbeda-beda. Lalu, bagaimana pendapatmu terhadapku? Hahay, mungkin suatu hal yang menarik jika kita bisa saling bertukar pandangan.
Oke, aku lanjutkan.
Bagiku, engkau merupakan seorang penuntut ilmu yang baik--jika dibandingkan dengan orang yang tidak baik. Engkau sadar akan masa depan, juga senang menambah ilmu. Entah itu dengan membaca buku, diskusi, pengamatan lingkungan, atau media-media lain. Jika lebih dari satu itu berarti banyak, dengan tegas aku katakan bahwa banyak orang pintar yang tidak berakhlak sehingga menggunakan kepintarannya untuk berbuat kerusakan. Tapi engkau tidak. Aku percaya, engkaulah orang pintar yang menunjukkan kepada kebaikan.
Tapi kau tetaplah manusia biasa. Mungkin cukup baik bagiku, tapi jauh dari kata sempurna. Haha, kau lebih paham soal ini. Berhati-hatilah dengan godaan buruk yang membisikimu untuk beranjak ke jalan yang tidak seharusnya. Kita adalah manusia. Manusia adalah makhluk yang selalu digoda.
Aku yakin, engkau terpilih menjadi seseorang yang akan membawa kebaikan bagi lingkungan sekitarmu. Amalkanlah ilmu dan bersatulah dengan orang-orang yang baik. Ketahuilah, engkau memiliki beberapa derajat. Janganlah kau hina orang yang lebih rendah darimu, perbaiki adab, dan jagalah pengetahuanmu. Ia akan bermanfaat untuk orang lain jika kau menggunakannya dengan bijak. jauhi kata lupa dan teruslah perbaiki diri. Dan ingat selalu ketika kau akan bertindak bahwa tindakan akan membawamu kepada hasil. Maka, berpikirlah sebelum bertindak, dan bertindaklah atas apa yang telah kau pikirkan. Aku tahu kau bukan pemalas tapi sifat itu pasti ada. Buanglah sifat malas sampai seperti engkau tak mengenalnya. Bermanfaatlah untuk lingkunganmu, indahkan tutur ucapmu, dan katakanlah kebenaran dengan bijak. Sesungguhnya menyebar kebaikan--seperti Rasulullah--tidaklah mudah. Ada pahit yang mungkin harus dirasa. Bersabarlah ketika engkau sedang merasakan pahit itu, berbuatlah sesuai porsimu, dan lakukanlah segalanya dengan tulus.
Surat ini menjadi salah satu media komunikasi kita yang tentu amat sangat jarang terjalin. Aku berharap suatu hari kita bisa bertemu ketika sudah menjadi orang-orang yang terpilih. Maka, sekaranglah saatnya mempersiapkan diri agar kita menjadi orang-orang pilihan.
Sudah dulu ya ... Ini saja isi suratku. Ada sedikit cerita, sedikit kesan, dan sedikit pesan. Akhir kata, banyak kesalahan yang pernah kulakukan terhadapmu, mungkin saja. Maafkanlah segala khilaf, barang kali pernah hatimu kecewa karena apa yang kau harapkan tidak kulakukan. kelemahan adalah berbuat salah, baik yang dikehendaki maupun yang tidak. Hapuskanlah goresan yang pernah kubuat. Maafkan aku.
Kau adalah salah satu teman yang hebat. Terimakasih telah memberikan banyak pelajaran untukku. Terimakasih, telah menjadi bagian indah dalam hidupku.
Indramayu, 2/8/2015.
Temanmu,
Setyo Waluyo (Masyo).
GLOSARIUM
Johan: Rangking atau peringkat
Ijtima': Sejenis pertemuan musyawarah atau rapat.
"Eh, ada anak baru tahu di 6-c03!" papar seorang teman. Juli, 2006, kami menginjak level sekolah yang baru--6 MI.
"Oh ... Siapa namanya?" responku singkat.
"Enggak tau deh ... Cewe, kecil, kayaknya pendiem."
"Oh, begitu...." Cukup mendengar kabar saja. Aku tak terlalu memedulikan anak baru itu. "Ya udah biarin, ayo lanjut main lagi."
****
Dan satu semester pun terlewati....
Kini topik utama pembicaraan kami tidak hanya soal liburan. Ada topik baru yang lebih panas sehingga menjadi buah bibir para guru maupun murid. Inilah pembahasan mengenai hasil dari proses pembelajaran yang telah berjalan. Inilah gengsi sekolah dalam dunia pendidikan. Inilah bukti seorang pelajar serius atau lalai dalam persaingan. Topik utama kali ini: 'ranking dan nilai para murid'. Sebuah topik baru yang tengah menguasai pasar bahasan orang-orang di sekolah kami. Maklum, baru kemarin diumumkan murid-murid yang menjadi johan angkatan. Wajar saja tema itu menjadi nomor satu. Tapi siapa sangka, terselip sebutir cerita tentang anak itu pada bahasan kali ini. Seseorang yang sebelumnya aku tak terlalu berminat mengenalnya, kini mau tak au aku pasti tahu. Sekonyong-konyong, dia, seorang perempuan kecil yang pendiam dan pemalu itu berhasil memasukkan namanya ke dalam daftar murid terpintar di angkatan kami. Hanya dalam satu semester, ia mampu merebut posisi tiga dari kurang lebih tiga ratus anak yang ada di kelas enam! Waw! Ini kisah heboh! seorang anak yang tidak pernah dibahas, sekejab menjadi sorotan utama di antara anak-anak baru yang lain. Saat itulah aku mulai mengenalnya. Namanya tiba-tiba mencuat dalam tempo yang relatif singkat.
Untuk saat itu harus kuakui, dia anak yang pintar. Tapi kondisi bisa berubah. Mungkin saja ini hanya kebetulan, ia tertimpa keberuntungan sesaat yang nantinya akan hilang juga. Tak ada yang dapat menutup kemungkinan bahwa di semester-semester berikutnya ia akan menduduki peringkat anak-anak terbelakang. Kita lihat saja bagaimana selanjutnya.
****
"Yo, cepet bangun! Ijtima' divisi pendidikan sekarang!" seorang teman pengganggu membangunkan tidurku yang sudah mulai lelap.
"Perlahan aku mulai sadar dan membuka mata. Mengangkat kepala, lalu menengok ke arahnya. "Et ... dah. Ijtima' apaan si?" balasku malas.
"Ijtima' marhalah divisi pendidikan. Ente kan bagian pendidikan juga. Ayo cepet jalan bareng ane!" Kata-kata yang tidak enak didengar--bagiku: seseorang yang baru saja bangun tidur, apalagi karena dibangunkan.
Aku masih diam berusaha untuk mengumpulkan nyawa. Ini seperti badai buruk. Waktu rehat kelas yang seharusnya menjadi jam tidur tambahan harus kurelakan karena kewajiban menghadiri ijtima'. Sambil mengulet, mau tak mau, "Emh ... iya dah. Sebentar, ane cuci muka dulu."
****
2011, kami tengah menduduki kelas sebelas saat itu. MA ini menjadi pilihanku untuk melanjutkan pendidikan setelah mengenyam MI dan MTs di tempat yang sama.
Adalah level kelas sebelas, masuk ke dalam kategori senior yang sudah harus terbentuk marhalah di dalamnya. Marhalah merupakan sebutan bagi organisasi di sekolah kami yang mengurus perihal angkatan. Seperti organisasi lain pada umumnya, marhalah memiliki ketua, sekertaris, divisi keuangan, divisi ekonomi, dan divisi lainnya. Tersebutlah di antaranya divisi pendidikan di mana aku menjadi anggota. Entahlah, aku tak pernah ingat mengapa bisa masuk ke dalam bagian itu. Bagiku itu bukan masalah besar. Dan aku sering melupakan hal-hal kecil yang sekiranya tidak terlalu penting.
Selang beberapa menit kemudian aku dan seorang 'teman pengganggu tidur' sudah berjalan bersama menuju aula, tempat di mana Ijtima' dilaksanakan. Siang itu, dia yang memimpin Ijtima'. Perempuan kecil itu kini berubah menjadi seorang gadis setengah dewasa. Bermacam kepintaran tetap menempel di kepalanya. Ia selalu sukses menorehkan namanya sebagai johan angkatan hampir di setiap semester. Mungkin itulah alasan mengapa ia terpilih sebagai ketua divisi pendidikan marhalah. Pernah aku berpikir dalam hati: sepertinya, kepintaran yang begitu setia bersamanya telah menjadikan ia sebagai orang yang setia juga. Dan sampai saat itu, ia tetap sama karena sebuah kesetiaan. Ia setia kepada sifat malu dan diamnya. Persis seperti lima tahun silam ketika pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini.
Begitulah kisahnya. Sudah lima tahun kami berada di sekolah yang sama. Lulus dari kelas enam MI, lalu memilih lanjutan tahapan akademik di MTs dan MA yang sama. Hampir semuanya sama. Ia masih dan tetap pintar. Sedangkan aku? Entahalah. Aku tak mampu menjawab pertanyaan itu.
Jarum panjang telah melewati enam angka yang berbaris melengkung--tiga puluh menit terlewati. Ijtima' pun usai. Orang-orang meninggalkan tempat ijtima' dengan berbagai raut di wajah mereka. Beberapa tertawa, beberapa biasa, dan sebagian kecil tampak lesu. Hm ... wajah lesu. Mungkin tugas mereka bertambah karena ijtima' itu. Aku diam seribu kata melirik mereka. Tak peduli--karena aku hanya memerhatikan diri sendiri.
Haha, aku senang ijtima' ini berakhir. Kuhembuskan nafas-nafas kebahagiaan. Tak pernah ku ingin tahu apa yang bisa kuperoleh dari pertemuan itu. Pikiranku menerawang ke atas rasa senang karena bisa melanjutkan sesi tidur yang tertunda.
Saatnya menikmati meja dan kursi sekolah yang nyaman. Mataku mulai terpejam, kuatur nafas agar lebih tenang meski sedikit terdengar bingar suara guru menjelaskan dan teman-teman yang asyik bercanda. Ada juga beberapa yang bertanya serius menimpali omongan sang guru. Dalam kondisi seperti itu, aku fokus mengatur nafas, meletakkan kepala di tempat yang paling nikmat, memosisikan badan serileks mungkin, mencoba tuli terhadap bising-bising kecil, dan siap tidur di tengah pelajaran yang sedang berlangsung. Ah ... Aku pasti bermimpi. Entah kemana mimpi itu membawaku pergi.
****
Pagi ini, seperti beberapa tahun lalu--cerah. Salah satu pagi indah pada Juli 2015. Tenang dan menenangkan. Udara pagi mulai berganti dari dingin ke hangat. Sekelompok jalak, kutilang, kacer, cendet, perkutut, dan saudara-saudaranya bersaut-saut bak paduan suara tingkat dunia. Inilah salah satu kelebihan lingkunganku, makhluk bersuara emas itu bebas menjalani hidupnya. Memang seharusnya seperti ini, siulan indah itu bukan berasal dari paksa. Bagiku, alunan mereka adalah pembangkit keceriaan. Terlebih jika dipadu dengan pemandangan hijau yang manjakan mata. Kulihat padi-padi subur juga pepohonan sang penebar udara kehidupan, ah ... Pagi yang benar-benar indah.
Sayang, kopiku habis sejak dua hari lalu. Tapi tidak masalah, pagi ini sudah ada pengganti yang lebih nikmat dari kopi. Pengganti kopi ini adalah pekerjaan yang jarang sekali ada. Alih-alih pahitnya kopi, pekerjaan ini terasa manis--chatting dengan seorang teman lama.
"Apa kabar?" tanyaku.
"Baik."
Hm ... Sebuah jawaban singkat yang langsung pada intinya.
"Bagaimana kuliahmu?" lanjutku.
"Alhamdulillah, semua berjalan seperti biasa."
Kira-kira begitulah obrolan singkat kami berlangsung. Obrolan yang tidak terlalu penting. Bisa dibilang basa-basi yang sudah basi. Itulah obrolan yang tidak berpengaruh besar bagi hidupku juga hidupnya. Tapi ada satu hal yang bisa dikata istimewa--bagiku. Chatting itu adalah antara aku dan dirinya. Ya, dia. Wanita kecil yang pendiam, pemalu, dan pintar itu.
sudah lama aku menyadari bahwa dia pintar bukan karena mukjizat yang sekonyong-konyong ada. Bukan karena dari lahir sudah pintar.
Kepintaran tidak berasal dari bakat alam dan membela orang-orang yang beruntung. Aku tahu, semua itu terjadi karena ia berusaha. Ia bekerja keras dan sanggup berkomitmen dengan keinginannya. Tidak sedikit tenaga, waktu, dan hal-hal lain yang harus ia korbankan untuk bisa terus belajar walau mungkin banyak hambatan yang menuntut.
Tiba-tiba saja aku teringat masa lalu. Beberapa tahun silam ketika aku duduk di bangku kelas enam. Dimana anak itu menjadi topik utama karena kepintarannya yang muncul tiba-tiba. Si pendiam dan pemalu itu telah membuat kami penasaran. Saat itu, aku bertanya pada salah seorang teman, "Eh, tahu gak anak baru yang di 6-c03 itu, dia jadi johan ya ... Siapa namanya?"
Disebutlah olehnya nama itu--namamu.
****
Agustus, 2015...
Hei, selamat bertemu dalam surat! Apapun kondisimu, aku berharap engkau akan lebih baik dari pada kondisimu yang sekarang. Jujur, aku amat bahagia karena bisa menyampaikan salam langsung untukmu; tanpa perantara orang lain. Walaupun itu hanya lewat surat/ tulisan. Ya ... Sekedar menyampaikan perasaan saja.... Aku juga berdo'a semoga engkau berlimpah dengan segala kebahagiaan.
Entah apa pekerjaanmu sekarang, aku yakin di dalam hati, apapun yang engkau lakukan saat ini adalah pekerjaan yang engkau amat mencintainya.
Tujuh tahun bersamamu dalam sekolah yang sama; memaksaku untuk mengakui bahwa engkau adalah seseorang yang cukup pintar--setidaknya jika dibandingkan dengan aku dulu yang pemalas. Selama tujuh tahun berjalan, tak sedikitpun aku mampu bersaing. Kini, aku sadar--terimakasih, Teman. Meski tersirat, perjuanganmu telah mengajariku. Dan aku sudah tergerak untuk menjadi pribadi yang lebih giat.
Aku paham, kita tidak terlalu akrab dan menghabiskan waktu bersama di masa lalu. Tentu saja karena berbagai macam alasan; lingkungan kita yang berbeda, hobi yang tak sama, peraturan yang ditetapkan, terlebih aku laki-laki dan kau perempuan. Tapi aku berterima kasih dan bersyukur pernah mengenalmu. Aku senang engkau ada dalam cerita hidupku. Mungkin jika malaikat bertanya, "Sebutkan apa saja hal yang baik dalam hidupmu?" Kan kujawab tanpa ragu: aku pernah mengenalmu.
Teman; demikianlah sebutanku terhadapmu, kamu terhadapku. Setiap orang memiliki makna tersendiri terhadap kata itu. Namun, tahukah kamu apa arti "teman" bagiku?
Teman adalah seseorang yang pernah bersama dalam kehidupan nyata, adalah seseorang yang berada dalam hati--meski fisik tak bersama, adalah seseorang yang memberikan kebahagiaan baik langsung maupun tersirat, adalah seseorang yang memberikan pelajaran sehingga membuat pribadi lain menjadi makhluk yang lebih baik. itulah teman.
Bagiku teman memiliki makna yang luas. Satu saja syarat sudah terpenuhi dari apa yang sudah kusebutkan diatas, maka dialah "teman." Seorang istri adalah teman hidup bagi suaminya. Tak perlu ditanya mengapa; sang istri menemaninya ketika kesepian, melayaninya ketika butuh, menghiburnya ketika pilu, mengingatkannya ketika lupa, memberikan kebahagiaan kepadanya, membantu urusan-urusannya, dan segala macam alasan yang membuat kita lelah jika menyebutkan semuanya. Seorang penjahat pun merupakan teman bagi polisi. karena penjahat memaksa polisi agar lebih waspada, lebih cekatan, lebih aktif, dan lebih giat memikirkan cara yang efektif untuk mewujudkan kemanan masyarakat. Penjahat--secara tak langsung--mengajari polisi untuk bertindak ke arah yang lebih baik. Penjahat juga memberi efek baik untuk polisi karena mereka menegur polisi agar selalu mengevaluasi diri sehingga memiliki banyak kemajuan.
Teman bisa menjadi sesuatu yang buruk atau sesuatu yang baik tergantung dari hati kita memaknainya. Bagaimana pun cara orang lain mengartikan teman, aku memiliki caraku sendiri.
Selanjutnya, ada yang ingin kusampaikan. Aku mohon izin untuk menjelaskan dirimu; tentu saja berdasarkan pandanganku. Bukan untuk memuji atau mencela. Aku hanya ingin hal ini menjadi evaluasi kita agar bisa tergerak menjadi pribadi yang lebih mulia. Perhatikanlah, ini merupakan pesan dari teman untuk teman. Inilah pandanganku, entah engkau terima atau tidak, aku hanya menyampaikan, bukan meminta tanggapan.
Disebutlah olehnya nama itu--namamu.
Temanku,
Engkau adalah seseorang yang cukup baik. Berjalan pada jalan yang tepat--Jalan Allah, walau mungkin pernah terpeleset dari jalur. Itu wajar, karena pada dasarnya manusia adalah salah. Engkau juga orang yang bersungguh-sungguh terhadap suatu hal. Aku melihat sikap bertanggung jawab dari dirimu. Ketika kau pelajar, maka engkau akan belajar. Ketika kau mendapat tugas, engkau akan mengerjakannya karena itu kewajiban. Ketika engkau gagal, maka engkau akan mencoba lagi. Engkau rela berpayah untuk mencapai suatu hal--itu yang ingin aku tiru.
Aku tahu, terkadang sikap kanak-kanakmu timbul di saat yang tidak kau inginkan. Tapi kau mencoba tetap tegar menyembunyikan sikap aslimu yang lucu itu. Dulu, aku sering melihatmu mencoba berani, walau (aku tahu) kau takut. Engkau mungkin seperti orang yang terlihat gagah, tapi aku menemukan gemetar di hatimu. Kadang juga engkau tak mampu mengolah malu dan diam itu, lalu membuat sebuah kesalahan. Dan setelah kejadian itu usai engkau berucap dalam hati, "Haduh ... Kenapa sih tadi aku kaya gitu...." Haha, itulah dirimu--dulu. Aku yakin kini kau telah berubah.
Banyak hal yang bisa kita dapatkan dari seorang teman, salah satunya adalah pandangan. aku paham kau adalah seorang pemerhati yang baik; mungkin. Engkau sadar dengan kondisi lingkunganmu. Misalnya, engkau tahu ciri-ciri temanmu. Jika si A mendapatkan kondisi yang begini-begini, maka reaksi A akan begitu-begitu. A tidak terlalu bisa dalam hal membaca Al-Qur'an, tapi mengapa ia tidak berusaha untuk menjadi bisa? Oh ... Mungkin kejadian yang begini-begini telah melatarbelakangi hidupnya sehingga ia belum mau berusaha untuk mendapatkan yang terbaik baginya. Ya, begitulah kira-kira. Ketika engkau heran terhadap suatu hal, engkau akan mencari sejarah (sebab)-nya. begitulah seorang pemerhati dan kau seorang pemerhati.
Terkadang, walau tidak mencari sebabnya, minimal kau tahu, telah terjadi kerusakan di sebelah sini, kerusakan juga di sebelah sana, tapi terjadi kenaikan kualitas di sebelah situ. Itulah yang akan memunculkan pertanyaan selanjutnya. Mengapa bisa terjadi demikian? Mengapa sebelah situ berbeda dari yang lain? Apa yang membuat sebelah sini dan sana rusak? Bagaimana jika kondisi di sebelah situ diterapkan di sebelah sini dan sana? Apa yang membuatnya mungkin dan apa yang membuatnya tidak mungkin?
Menurutku, aku juga seorang pemerhati. Ya ... sedikitlah.... Dan aku pikir semua orang adalah pemerhati. Hanya objek, cara, dan kadarnya saja yang berbeda-beda. Begitulah, semua orang dapat memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap suatu hal yang juga berbeda-beda. Lalu, bagaimana pendapatmu terhadapku? Hahay, mungkin suatu hal yang menarik jika kita bisa saling bertukar pandangan.
Oke, aku lanjutkan.
Bagiku, engkau merupakan seorang penuntut ilmu yang baik--jika dibandingkan dengan orang yang tidak baik. Engkau sadar akan masa depan, juga senang menambah ilmu. Entah itu dengan membaca buku, diskusi, pengamatan lingkungan, atau media-media lain. Jika lebih dari satu itu berarti banyak, dengan tegas aku katakan bahwa banyak orang pintar yang tidak berakhlak sehingga menggunakan kepintarannya untuk berbuat kerusakan. Tapi engkau tidak. Aku percaya, engkaulah orang pintar yang menunjukkan kepada kebaikan.
Tapi kau tetaplah manusia biasa. Mungkin cukup baik bagiku, tapi jauh dari kata sempurna. Haha, kau lebih paham soal ini. Berhati-hatilah dengan godaan buruk yang membisikimu untuk beranjak ke jalan yang tidak seharusnya. Kita adalah manusia. Manusia adalah makhluk yang selalu digoda.
Aku yakin, engkau terpilih menjadi seseorang yang akan membawa kebaikan bagi lingkungan sekitarmu. Amalkanlah ilmu dan bersatulah dengan orang-orang yang baik. Ketahuilah, engkau memiliki beberapa derajat. Janganlah kau hina orang yang lebih rendah darimu, perbaiki adab, dan jagalah pengetahuanmu. Ia akan bermanfaat untuk orang lain jika kau menggunakannya dengan bijak. jauhi kata lupa dan teruslah perbaiki diri. Dan ingat selalu ketika kau akan bertindak bahwa tindakan akan membawamu kepada hasil. Maka, berpikirlah sebelum bertindak, dan bertindaklah atas apa yang telah kau pikirkan. Aku tahu kau bukan pemalas tapi sifat itu pasti ada. Buanglah sifat malas sampai seperti engkau tak mengenalnya. Bermanfaatlah untuk lingkunganmu, indahkan tutur ucapmu, dan katakanlah kebenaran dengan bijak. Sesungguhnya menyebar kebaikan--seperti Rasulullah--tidaklah mudah. Ada pahit yang mungkin harus dirasa. Bersabarlah ketika engkau sedang merasakan pahit itu, berbuatlah sesuai porsimu, dan lakukanlah segalanya dengan tulus.
Surat ini menjadi salah satu media komunikasi kita yang tentu amat sangat jarang terjalin. Aku berharap suatu hari kita bisa bertemu ketika sudah menjadi orang-orang yang terpilih. Maka, sekaranglah saatnya mempersiapkan diri agar kita menjadi orang-orang pilihan.
Sudah dulu ya ... Ini saja isi suratku. Ada sedikit cerita, sedikit kesan, dan sedikit pesan. Akhir kata, banyak kesalahan yang pernah kulakukan terhadapmu, mungkin saja. Maafkanlah segala khilaf, barang kali pernah hatimu kecewa karena apa yang kau harapkan tidak kulakukan. kelemahan adalah berbuat salah, baik yang dikehendaki maupun yang tidak. Hapuskanlah goresan yang pernah kubuat. Maafkan aku.
Kau adalah salah satu teman yang hebat. Terimakasih telah memberikan banyak pelajaran untukku. Terimakasih, telah menjadi bagian indah dalam hidupku.
Indramayu, 2/8/2015.
Temanmu,
Setyo Waluyo (Masyo).
GLOSARIUM
Johan: Rangking atau peringkat
Ijtima': Sejenis pertemuan musyawarah atau rapat.
Terima kasih untuk komentar yang baik dan membangun...
EmoticonEmoticon